Etika Mahasiswa sebagai Netizen Indonesia

Berdasarkan hasil survei sosial ekonomi nasional yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, persentase penduduk Indonesia yang pernah mengakses internet dalam tiga bulan terakhir mencapai 69,15 persen pada tahun 2022. Persentase tersebut naik 7,05 persen dari tahun sebelumnya yang sebesar 62,1 persen. Kemudian, pengguna internet di dalam negeri paling banyak berasal dari kelompok usia mahasiswa atau 19-24 tahun sebesar 14,69 persen (Annur, 2023).

Dengan persentase sebesar itu, kelompok mahasiswa hampir semuanya menggunakan internet. Mahasiswa seringkali menggunakan internet baik untuk mengakses pengetahuan, sebagai hiburan maupun untuk berkomunikasi. Microsoft mengumumkan tingkat kesopanan pengguna internet sepanjang 2020, termasuk negara Indonesia. Dalam laporan  Digital Civility Index (DCI) itu, mengukur tingkat kesopanan digital pengguna internet dunia saat berkomunikasi di dunia maya. Netizen Indonesia menempati urutan terbawah se-Asia Tenggara, alias paling tidak sopan di wilayah tersebut. Berawal dari 67 poin pada 2019 kemudian naik 8 poin menjadi 75 poin pada 2020. Sistem penilaian laporan tersebut berkisar dari skala nol hingga 100. Di mana semakin tinggi skor maka semakin rendah kesopanan daring di negara tersebut (Finaka W. Andrean, 2021). Di balik tingginya angka tersebut masih banyak mahasiswa yang menjadi bagian dari netizen Indonesia yang masuk dalam kategori netizen paling tidak sopan di dunia. hal itu dikarenakan mahasiswa sering menampung informasi dari berbagai sumber yang tanpa dicari tau ke aslinya. sehingga terdapat simpang siur informasi yang berbeda beda.

Tak jarang pula, mahasiswa merasa frustasi dengan akademik maupun kehidupan sehari hari, sehingga frustasi tersebut menyebabkan mahasiswa meluapkan atau mengungkapkan emosionalnya di internet. Kondisi tersebut menyebabkan ujaran kebencian tanpa melihat siapa sasaran yang dituju sehingga menimbulkan cyberbullying. Cyberbullying diawali dengan ketikan ketikan panas yang dilakukan oleh seseorang yang lama kelamaan itu menjadi kebiasaan baru atau yang kita kenal dengan habits. Dari habits tersebut Indonesia dijuluki sebagai netizen paling tidak sopan di dunia, hal tersebut timbul karena banyak pengguna internet yang terjebak pada mentalitas kuno dan terjebak pada pemikiran yang salah, salah satunya dengan mempercayai apa yang mereka lihat pertama dan yang lain adalah salah. Kasus yang sering terjadi selain cyberbullying yaitu rasisme dan perkelahian di dunia maya terlebih lagi dikalangan mahasiswa yang biasanya terjadi dibidang politik, sosial dan lainnya.

Kita tau semua orang punya hak untuk bersuara dan berkomentar di dunia nyata maupun di dunia maya, namun tidak sepatutnya kita menggunakan hak tersebut sebagai kepuasan diri dengan mengetikan hal pedas, kebencian, hinaan, dan ajakan yang tidak baik. Seharusnya kita sebagai mahasiswa harus lebih bijak lagi dalam bersosial media, lebih menyaring segala sesuatu yang masih belum diketahui sumber aslinya, dan menjaga nama baik serta mengontrol emosi diri saat sedang menggunakan sosial media. Maka dari itu kita dalam mengakses internet maupun menggunakan media sosial harus dilandasi dengan etika digital.

Sayangnya mahasiswa saat ini masih kurang dalam etika digital. Pentingnya kita sebagai mahasiswa agar tau etika digital yaitu agar reputasi kita juga baik tidak hanya di dunia nyata maupun di dunia maya.

Etika digital yang kita lakukan di dunia maya yaitu dengan introspeksi diri terlebih dahulu sebelum kita mengomentari atau menghina orang lain. pentingnya introspeksi diri yaitu agar nantinya kita sama sama sadar bahwa  kita punya kekurangan dan tidak sepatutnya kita mengomentari kekurangan yang orang lain miliki, setiap orang juga punya kebahagiaan tersendiri ketika ada didunia maya maka dari itu harus menerima fakta dengan legowo kebahagiaan setiap orang berbeda beda. Tentu nya ketika kita menerima cyberbullying, rasis dari orang lain terhadap kita tidak perlu kita balas atau kita bisa mengacuhkannya tidak perlu langsung masuk kedalam hati kita. 

Selain intropeksi diri, kita juga harus menahan emosional dan mengontrol diri agar tidak berlaku semena mena di dunia maya, sebab walaupun kita sudah menghapus semua hal yang telah kita lakukan didunia maya namun rekam jejak digital tidak pernah hilang, data kita akan tersimpan di data google center sehingga kita tidak dapat memutar balikan fakta.

kemudian etika digital lain yaitu jangan pernah menyebarkan informasi sensitif yang berbau SARA maupun Pornografi di dunia maya, karena rentan sekali terjadi perpecahan karena adanya konten tersebut. Kita harus saling menghargai karena kita memang satu Negara dan satu Bangsa namun kita punya ciri khas yang berbeda beda. yang terakhir yaitu dengan jangan terlalu terbuka dengan data privasi kita di dunia maya karena dengan kita memposting diri kita atau terlalu oversharing kita bisa dijadikan sebagai sasaran atau target oknum lain yang sedang dalam keadaan emosional yang tinggi kemudian melakukan cyberbullying terhadap kita di dunia maya. 

Bijak-bijaklah dalam bermedia sosial dan bersikaplah dewasa ketika menghadapi dunia maya karena itu semua dimulai dari diri kita sendiri.

Penulis:

Dhea Windi Mayasari

Mahasiswa Akuntansi Politeknik Harapan Bersama

03 Januari 2024 - 10:45:08 WIB   0
Artikel Mahasiswa   Politeknik Harapan Bersama   Prodi D-3 Akuntansi  

Share:

Tinggalkan Komentar

Email dan No. HP tidak akan kami publikasikan

Info Penerimaan Mahasiswa